Pengalaman, tulisan, gagasan, opini dan ide-ide Cut Vivia Talitha, cewek SMA yang punya segudang hobi dan cita-cita dari membaca, menulis, computing, menyanyi, dan lain-lain yang kurang tersalurkan. Yang penting, 'Jika orang lain bisa, maka aku pasti lebih bisa!'

Mereka Pikir Menyenangkan, Aku Anggap Mengerikan - 'Budaya' Pendidikan Indonesia

Andai dengan hanya memecahkan kepalaku dan mengeluarkan isinya, orang-orang dapat memahami apa yang aku pikirkan yang kadang tidak mampu untuk aku lukiskan, yang bahkan meski dengan kosakata bahasa Indonesia yang cukup berlimpah....

Mereka Anggap Menyenangkan, Aku Pikir Mengerikan - 'Budaya' Pendidikan Indonesia


Hari ini, 10 Januari 2015, aku pulang ke rumah dengan kepalaku yang seakan-akan ingin pecah dan menumpah-ruahkan jalinan otak di dalamnya. Aku melihat mamaku sedang sibuk membuat pola jahitan, kemudian  manjatuhkan diri di kursi ruang tamu dan berbaring di atasnya, berharap dengan mengistirahatkan tubuhku sama artinya dengan mengistirahatkan otakku.

Tapi aku salah besar. Merebahkan diri justru menjadikan kepalaku makin bersemangat untuk menguras energiku. Lebih parah lagi, saat melihat raport biru tergeletak tak berdaya di sana, tak jauh dariku. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak membukanya. Meski tahu, memerhatikan angka-angka di dalamnya hanya membuat kepalaku semakin sakit tak tertahan.

Pernahkah kau mendengar kalimat bertubi-tubi yang semu dan memusingkan, ketika tak seorangpun mendengarnya selain dirimu? 

Pernahkah kau mendengar begitu banyak komentar dan protes yang berkelebat di kepalamu sampai kau tak tahan untuk tidak mendengarkan?

Atau pernahkah kau merasa kepalamu nyaris pecah, berdenyut-denyut menyedihkan, setres dan tertekan hanya karena segala hal di dalam kepalamu tak pernah mampu kau kendalikan?

Teman, jika jawabannya adalah 'Ya'. Sungguh, kau tidak sendirian.

Menimbang-nimbang aku yang sudah tidak tahan untuk memendam segala isi kepala yang tak mampu lagi kutahan dan berharap kegilaan sementara ini mampu terobati, aku berusaha mengetikkan kalimat-kalimat yang sedang kudengar di kepalaku. Tak seperti biasanya saat aku biarkan saja mereka berkeliaran dengan keningku berkerut hingga berbekas garis-garis halus. Sebenarnya bisa saja aku melakukannya dengan bolpoin dan selembar kertas, namun rasa malasku untuk melakukannya lebih besar daripada keinginanku, mengingat tulisanku yang tak ber-estetika itu. Ya... hitung-hitung meramaikan blogku yang sudah bersarang tikus karena malas kuisi setelah puas mengutak-atik HTML-nya.

Kau tahu apa? Aku berharap menemukan orang-orang yang bisa mengerti aku dan jalan pikiranku, tanpa harus bersusah payah untuk aku menjelaskan. Seringkali saat orang-orang berpikir sesuatu itu menyenangkan, aku justru melihatnya sebagai sesuatu yang mengerikan. Sebaliknya saat aku berpikir sesuatu itu menyenangkan, mereka justru menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak berarti. Aku mungkin cukup baik mengendalikan diriku, tapi tetap saja aku tidak bisa mengendalikan pikiranku. Kemungkinan, komentar, argumen yang kudengar dalam pikiranku semakin runyam, kusut, tak terkendali, mendobrak, dan aku merasa nyaris gila!

Tapi aku bisa apa? Pikiran-pikiran itu hadir tanpa bisa kukendali. Saat aku berkedip, mengaktifkan panca indra dan bahkan bernafas, saat itulah aku mendengar banyak hal dari dalam kepalaku. Terus terang kukatakan, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan satu piring nasi di rumah! Bukan karena aku tidak tahan pedasnya masakan Aceh, bukan pula karena gigiku tinggal dua. Hanya saja, aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Aku memegang sendok di tangan kanan kemudian hanyut dalam duniaku.

Misalnya saja, salah satu hal yang mengganggu pikiranku hari ini: 'BUDAYA' PENDIDIKAN INDONESIA! Aku mengamatinya sangat bertentangan dengan pikiranku. Aku muak jika rumus-rumus ilmu eksakta maupun ekonomi yang dipelajari di sekolah 'mendorong' pelajar Indonesia untuk MENGHAFAL. Aku muak dengan segala tetek-bengek sistem penilaian yang tidak mencerdaskan bangsa. Aku bahkan muak dengan persaingan-persaingan sekolah di Indonesia, yang makin lama jika diperhatikan makin mirip operator seluler perang tarif. Setiap sekolah berusaha 'meninggikan' namanya dengan beragam cara. Memberi kemudahan pada siswa dalam Ujian Nasional, bahkan memberi nilai rapor terlalu tinggi pada siswa dengan harapan bisa lebih mudah masuk perguruan tinggi ternama dan memberi citra yang harum bagi sekolah lama.

Dan hari ini, hari pembagian raport SMA semester limaku. Menunggu papaku menerima raport siang tadi benar-benar membuatku menunggu di luar kelas dengan cemas, melihat teman-temanku mendapat nilai raport yang bagus. Begitu papaku keluar, aku mencoba melihat nilaiku, dan dugaanku benar: nilaiku terlalu tinggi. Sekali lagi, TERLALU TINGGI. Jangan kau tanya berapa, karena aku bahkan tak ingin membayangkannya.

Kau kira aku munafik? Apa perlu ku-ulang lagi kalimatku tadi?


Seringkali saat orang-orang berpikir sesuatu itu menyenangkan, aku justru melihatnya sebagai sesuatu yang mengerikan.

Kau tidak mungkin tahu apa yang aku pikirkan dan menebak bagaimana aku yang sebenarnya, kecuali kau sudah cukup lama mengenalku seperti sahabatku Millati Amalia (Ema) atau Evie Nofita (Dara), kau bisa saja mengerti lebih banyak. Mungkin kau berpikir mudah mendapat nilai tinggi di jurusan IPS, dan wajar jika aku bisa mendapat nilai yang terlalu tinggi. Aku maklum, karena kebanyakan yang berspekulasi demikian adalah mereka yang bukan anak IPS, mereka yang berminat masuk jurusan IPS namun batal saat mendengar stigma tentang IPS, tidak diizinkan orangtua, atau bahkan memang tak pernah sudi menginjakan kaki di kelas ini. Tapi akan gawat jika kau menganggapku sinting karena menangisi nilai mata pelajaran di raport yang sempurna!

Baiklah, kalau kau berpikir aku sinting, berarti kau menganggap nilai sempurna itu hal yang MENYENANGKAN. Tapi sekali lagi kutegaskan, bagiku ini MENGERIKAN. Tahukah kau, apa yang aku pikirkan?

Aku ingin mendapatkan sesuatu yang bisa aku PERTANGGUNG-JAWABKAN!

Aku tidak merasa sejenius Albert Einsten dengan IQ 160nya, aku tidak merasa harus mendapatkan nilai setinggi-tingginya. Kau tentu tahu, nilai di raport adalah akumulasi dari keseharian siswa. Itu artinya untuk mendapatkan nilai sempurna, siswa harus mendapat nilai 100 di setiap tugas, ulangan harian dan semesteran. Tentu saja aku tak sesempurna itu. Aku lebih menginginkan nilai yang diukur sesuai kemampuanku, ketimbang diukur berdasarkan peringkat dan perbandingan dengan teman-temanku. Tidakkah kau pikirkan, di luar sana masih banyak yang lebih hebat, namun mereka mendapat nilai di bawahku! Tidakkah kau pikirkan, bagaimana perguruan tinggi bisa menilai calon mahasiswa dengan efektif sementara hampir setiap sekolah di Indonesia berlomba-lomba memberikan nilai tinggi kepada siswa? Tidakkah kau malu jika ternyata mereka yang nilainya di bawahmu ternyata justru lebih cerdas? Jujur saja, aku MALU! Malu pada diriku sendiri.


Dari sana aku semakin yakin, Ujian Nasional ternyata sangatlah penting! Aku tidak akan lagi menjadi ABG yang mengharapkan UN itu berakhir, harus dibasmi seperti kecoa yang menghuni dapur. Aku menemukan pencerahan baru, saat melihat persaingan sekolah yang tidak sehat mampu dinetralisir dengan sistem seperti itu. Mengapa aku begitu yakin? Karena sistem serentak seperti ini, dapat membantu pemerintah dalam memetakan mana sekolah yang memang lebih perlu ditingkatkan dan dikembangkan kualitasnya.

UN juga mempermudah perguruan tinggi menilai calon mahasiswa melalui jalur SNMPTN (jalur penerimaan tes lewat nilai rapor). Perbedaan parameter sekolah dalam menilai siswanya tentu berbeda satu sama lain. Nilai 90 di sekolah A, bisa setara dengan nilai 80 di sekolah B. Nilai UN yang murni bisa menjadi salah satu pertimbangan universitas, 'apakah calon mahasiswa memang sebaik yang tertera di raportnya?'

Namun tentu saja aku tidak setuju jika UN menjadi prioritas utama yang menentukan kelulusan sekolah. UN tidak seharusnya dibasmi, namun perlu diperbaiki. Aku berharap UN yang tahun 2015 ini menjadi ENAS (Evaluasi Nasional) benar-benar diperbaiki sistemnya, bukan hanya asal ganti nama seperti setiap pergantian kabinet sebelumnya.

Terus terang, sejak dulu terlalu banyak hal yang berkecamuk di pikiranku mengenai pendidikan di Indonesia ini. Segala bentuk protes yang hari ini tumpah karena kekecewaan pada nilaiku sendiri kurasa belum cukup untuk mewakili semua. Terkadang aku berpikir andai aku punya otoritas khusus, ingin rasanya mengubah sistem pendidikan dan meningkatkan mutu guru di Indonesia. Biar bagaimanapun, guru memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sesuai dengan tujuan Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945. Tidakkah kali ini saja kau setuju denganku?


Cut Vivia Talitha
13 Komentar untuk "Mereka Pikir Menyenangkan, Aku Anggap Mengerikan - 'Budaya' Pendidikan Indonesia"

Karena hanya mampu menghafal tetapi tidak mampu mengimplementasikan, membuat orang indonesia banyak yang jadi pengamat bukan orang yang bertindak.

Pendidikan di indonesia masih mengacu pada kecerdasan intelektual saja. Bukan berdasarkan kemampuan dan minat seseorang.

entah knapa pendidikan di Indonesia tidak terlalu menjurus ke dunia Industri.. melainkan kepada bidang intelektual dan hafalan... bahkan teman2 saya di sekolah menyatakan "sebagian besar pelajaran tidak akan berguna saat kerja" contohnya seperti pelajaran sosiologi.. kenapa pelajaran ini ada ?... apakah berarti orang indonesia itu tidak pandai bersosialisasi ?..............
slebihnya mohon maaf krna itu cuman pendapat dari saya dan teman2 saya

by ferdausnote.blogspot.com

Bahkan meski hanya mengacu pada kecerdasan intelektual saja masih tidak tepat sasaran. Murid tidak dididik untuk menyerap ilmu, tapi mengerjakan tugas untuk mengumpulkan nilai.

Setiap orang berhak untuk berpendapat, meski saya menganggap sosiologi itu juga perlu dipelajari ASALKAN sesuai dengan minat seseorang, apakah dia senang dalam mengenali asal-usul suatu bangsa dan kebudayaannya atau tidak. Tapi sayang yang kita lihat saat ini, semua siswa diberikan pelajaran yang tidak benar-benar mereka butuhkan, sampai belasan mata pelajaran setiap minggunya. Siswa jadi tidak fokus, dan mempelajari sesuatu yang bukan minatnya. Seperti kata anda. Mereka yang memang berminat dalam perindustrian harusnya dibina sejak dini. Begitu juga dengan yang berminat di bidang seni, sosial, dll.

dari sd sampai sma murid di tuntut untuk menghafal
dan bahkan samapi kuliah juga demikian

salam kenal

Setuju kok. Malah setuju banget. Hal yang sama tentang UN juga pernah aku tuliskan panjang lebar di blog, tentang hafal dan paham juga sudah pernah. Kalo masalah ilmu ini itu tak akan dipakai di masa depan sehingga gak perlu dipelajari? itu salah besar. Justru kita harus mempelajari banyak ilmu. Itu sudah kebutuhan mutlak. Namanya juga sekolah, mendidik ribuan anak. Sehingga targetnya adalah semua anak memahami ilmu tersebut sesuai standarnya. Ini juga pernah aku tulis di blog. Aku doain aja semoga gak ngerasa stress lagi.

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang. - Hapus

jujur aja, sebagian besar gw ngalamin hal yg sama persis kyk lu pas gw tiap hari duduk dibangku sekolah.
sueer, entah knapa gw merasa muak dngan temen" gw yg katanya "hanya dengar mengejar nilai rapot yg tinggi, lu bisa masuk PTN dan lapangan kerja yg terbuka lebar buat lo!"
malahan gw berani buat jujur ketika ujian meski nilai gw kecil, berarti gw mampu ngukur tingkat pemaham gw dipelajaran tersebut gmana, daripada nyontek hanya untuk ngejar nilai terus ilmu yg lu pelajari selama disekolah terbuang sia-sia, ngapain coba? dan pada akhirnya kebeneran akan terungkapkan. benerkan?
gw sepaham bnget sama lu dari semua isi postingannya (y)

TRADING ONLINE
BROKER AMAN TERPERCAYA
PENARIKAN PALING TERCEPAT
- Min Deposit 50K
- Bonus Deposit 10%** T&C Applied
- Bonus Referral 1% dari hasil profit tanpa turnover

Daftarkan diri Anda sekarang juga di www.hashtagoption.com

Info yang menarik, tapi begitulah kenyataannya dunia pendidikan kita.
Ditunggu kunjungan baliknya di https://lauttekno.blogspot.com/

Berkomentarlah sesuai topik dan dilarang melakukan SPAM serta menyertakan LINK AKTIF.

Back To Top